KandaiDotID

Kisah Warga Wawonii Berhasil Tolak Tambang dan Nikmati Hasil Panen Mete

Situasi Kecamatan Langara, ibu kota Kabupaten Konawe Kepulauan, atau lebih dikenal Pulau Wawonii, begitu ramai. Hilirisasi masyarakat begitupadai. Begitu juga penumpang kapal fery yang niat menginjakan kaki di Pulau Wawonii. Hari itu masuk bulan November 2019, Wawonii sedang menjamu masa panen raya jambu mete.

Setelah dari pelabuhan Langara, saya langsung menuju Desa Roko-Roko, Wawonii Tenggara, sepanjang jalan menuju roko-roko saya menyaksikan laki-laki hingga perempuan beragam umur, berbondong-bondong menuju kebun jambu mete, tanda panen sudah berjalan. Biji jambu mete bertebaran diatas tanah untuk segera di pungut. Aktifitas ini sudah menjadi budaya masyarakat Wawonii, kala musim panen tiba.

Secara geologis, Wawonii adalah daerah kepulauan yang mempunyai luas kurang lebih 2000 km persegi. Pulau ini dihuni lebih dari 30 ribu jiwa yang mayoritas petani. Diatas pulau ini tumbuh subur tanaman pertanian seperti jambu mete dan menjadi tanaman andalan masyarakat. Ada juga pala dan kopra. Selain bertani, masyarakat juga berprofesi sebagai nelayan.

Sesampainya saya di Roko-roko, saya mendatangi kembali rumah-rumah narasumber saya sebelumnya. Tidak lupa saya mendatangi La Baa, pria yangg mempertahankan tanahnya dari ekspansi pertambangan milik PT Gema Kreasi Perdana (GKP) anak perusahaan PT Harita Grup. Raut wajahnya begitu gembira sekali, memasuki musim panen ini dan ia menyaksikan mete yang ia tanam dan dirawatnya bertahun-tahun.

“Ini karena kita tolak tambang. Kalau kita jual, tidak ada lagi istilah panen. Saya biar tidak kerja di tambang, biar begini saja sudah bahagia sekali,” kata La Baa dengan mata yang berkaca-kaca.

La Baa adalah salah satu dari ribuan warga Wawonii yang tegas menolak tambang. Terakhir ia masuk dalam daftar orang yang dikriminalisasi. Dilaporkan ke Polres Kendari dan Polda Sultra. Ia diancam akan dipenjara, hanya karena mempertahankan tanah dan menolak tambang. Ia mempertahankan lahanya yang berisikan jambu mete, kelapa dan pala. Ia juga ¬ -akhir ini menjadi buah bibir masyarakat dan publik Sultra.

La Baa menolak tanahnya bakal dijadikan jalan houling atau jalan lingkar untuk perusahaan, sehingga dapat mengeruk ore nikel di pegunungan pulau Wawonii. Selain La Baa ada dua warga lagi seperti Wa Ana dan Amin yang juga bersifat sama seperti La Baa. Mereka jika diibaratkan, merupakan benteng terakhir dari pertahanan warga menolak tambang di Wawonii.

“Jika kita biarkan atau menjual lahan, maka perusahaan akan beraktifitas dan menambang. Lingkungan kami akan rusak. Benar jika saya dapat uang dan pergi ke kota. Tapi bagaimana dengan warga lain yang menikmati kerusakan lingkungan? Sehingga saya katakan, biar kalian mau kasi saya satu triliun uang, saya tidak akan jual tanahku,” tegasnya lagi.

Ungkapan La Baa itu terus ia ulang. Sebelum-sebelumnya ia juga mengutarakan hal sama. Ia sampaikan dihadapan aktivis, wartawan dan masyarakat yang menolak tambang. Katanya hal ini bertujuan memberi semangat dan tetap pada jalur perlawanan. Karena kata La Baa, jika Wawonii dibiarkan ada aktivitas pertambangan, ia meyakini lingkungan akan rusak.

“Akhirnya kita dilapor polisi. Diperiksa sampai mau ditangkap. Kasus saya juga tidak jelas sampai sekarang,” katanya.

La Baa memiliki lahan dengan luas kurang lebih 1 hektar. Mayoritas tanaman yang tumbuh adalah jambu mete. La Baa adalah bapak dari delapan orang anak. Yang menurut dia, telah sukses disekolahkan dari 35 tahun mengelola lahan. Selama itu pula, La Baa mengaku terus menyetor uang pajak ke negara Rp 70 ribu per tahun. Dari hasil berkebun di lahan seluas setengah hektare itu, La Baa sanggup menghidupi istri dan delapan orang anaknya.

“Alhamdulillah dari hasil berkebun juga saya sudah umrah. Tidak seperti mereka (warga) yang sudah jual lahan, dijanji mau diberangkatkan umrah tapi tidak jadi-jadi,” kata La Baa.

Saat saya menginjakan kaki di Roko-roko untuk kali kedua, suasananya berbeda. Bau menyengat dari buah mete, menyelimuti udara wilayah ini. Kata La Baa, suasa seperti itu bukan hal baru. Setiap kali memasuki musim panen jambu mete, hal serupa pasti terjadi. La Baa begitu bahagia tahun ini, selain sukses menolak tambang, ia juga dapat menikmati hasil panen.

“Kalau saya jual, atau biarkan tidak mungkin begini,” timpalnya.

 

Bahagiaanya La Baa dan Mereka Yang Tidak Panen

Euforia La Baa tidak saja berhenti disitu, sesaat setelah menikmati hasil panen, ia mendapatkan kabar Februari 2020 ini rupanya GKP menarik alat berat dan melakuikan pemutusak hak kerja (PHK) sebanyak 300 orang karyawannya. La Baa yang dihubungi mengaku legah dan bahagian akan hal ini. Artinya kata dia, perjuangan selama ini sedikit berhasil.

“Tapikan permintaannya warga waktu itu cabut IUP. Semoga setelah ini, ada lagi cabut IUP PT GKP itu,” katanya.

Kebahagiaan La Baa itu, lantas tidak dirasakan oleh sebagian warga Roko-roko dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ada ratusan warga juga yang merasa kurang beruntung dan merugi. Mereka adalah yang telah menjual lahannya di perusahaan. Tahun 2019 akhir kemarin, mereka tidak panen jambu.

Sejak memasuki masa panen November 2019 lalu, mereka tidak beraktifitas sama sekali. Seperti sebelum-sebelumnya berupa memungut jambu mete di kebun. Hal ini karena selain telah menjual lahan, pohon jambu mereka telah rata dengan tanah. Ditumbangkan oleh alat berat perusahaan, untuk kebutuhan jalan haoling.

Koordinator Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Melky Nahar, menjelaskan, pihaknya turut bersedih juga melihat hal ini. Menurutnya, secara tidak langsung masyarakat sudah bisa menilai bahwa Harita Grup memang perusahaan yang tidak bertanggung jawab, Dalam hal ini, mereka telah melakukan pengrusakan di Wawonii, kemudian melakukan PHK masal.

Katanya, perlawanan masyarakat Pulau Wawonii atas kehadiran PT Gema Kreasi (GKP) hingga membuat anak usha Harita Group itu berhenti sementara, menunjukkan betapa masyarakat menjadi kekuatan utama dalam perjuangan yang hampir dua tahun itu. Hal ini mesti menjadi bahan refleksi dan pelajaran penting bagi masyarakat Pulau Wawonii, termasuk masyarakat korban tambang di seluruh Sulawesi Tenggara.

“Bahwasannya, niat jahat perusahaan, atau investasi jenis apapun yang merusak, akan berhenti jika masyarakat berjuang secara bersama-sama,” kata Melky.

Selain itu, kisah perjuangan masyarakat Pulau Wawonii hingga membuat perusahaan berhenti sementara, membuktikan kekuatan rakyat yang besar yang tidak mudah patuh dan tunduk di hadapan korporasi di satu sisi, dan menunjukkan kewibawaan pemerintah yang mudah tunduk dan patuh di sisi yang lain.

Sebab tambah Melky, jika pemerintah berada di pihak masyarakat, memahami secara utuh dampak-dampak buruk akibat kehadiran PT GKP, termasuk sejumlah dugaan pelanggaran hukum yang tengah terjadi, maka, pemerintahalah yang mestinya mengambil sikap tegas, dengan menghentikan secara permanen, berikut mencabut izin tambang dari PT GKP.

Namun, fakta yang terjadi, sejumlah dugaan tindak kejahatan lingkungan dan pelaggaran hukum yang dilakukan pihak perusahaan, didiamkan begitu saja, tanpa ada tindakan hukum apapun. Pemerintah begitu takut dan tunduk di hadapan Harita Group.

“Kita harap, GKP juga melakukan ganti rugi kepada masyarakat Wawonii. Terkhusus mereka yang telah di PHK,” tegasnya.

 

Apresiasi Kepada Warga

Sementara itu, Merah Johansyah Kordinator Nasional JATAM, mengapresiasi perlawanan warga Wawonii. Katanya, hal ini menunjukan bahwa perlawanan warga selama ini membuahkan hal. Tidak ada yang tidak mungkin kata Merah, jika rakyat telah melawan dan berkehendak. Pemerintah harusnya malu katanya, hal ini karena masyarakat lebih mengerti dan paham bagaimana menjaga lingkungan agar terbebas dari tambang.

“Pertama yang ingin saya sampaikan adalah, apresiasi kepada warga karena berhasil menolak tambang. Langkah selanjutnya adalah, KKP dan KLHK harus turun lapangan melakukan penindakan hukum kepada GKP di Wawonii,” katanya.

Menurut dia, selain menarik alat berat dan melakukan PHK sebanyak 300 pekerjanya, pemerintah jangan menutup mata lagi. Ada dugaan pelanggaran hukum yang harusnya diselesaikan oleh dua kementrian yakni KKP dan KLHK. Menurutnya, pelabuhan milik GKP telah melanggar hukum dengan tidak memiliki ijin lingkungan.

“Harusnya diproses hukum. KLHK dan KKP kok menutup mata. Kemana penindakan hukum mereka, yang jelas-jelas ini melanggar hukum,” tegasnya.

Langkah selanjutnya dari JATAM kata Merah, mendesak pemerintah provinsi Sultra, agar mencabut seluruh IUP yang ada di Pulau Wawonii. Sehingga, kedepan menjadi pelajaran untuk semua pemerintah di Indonesia, bahwa pulau-pulau kecil tidak menyiapkan ruang untuk aktivitas pertambangan.

“Jelas bahwa ini melanggar Undang-Undang pesisir dan pulau-pulau kecil. Maka IUP harus dicabut. Tidak ada tambang diatas tanah Wawonii,” tegasnya.

 

GKP Mundur dan Kisa Kemenangan Warga Wawonii 

PT Gema Kreasi Perdana (GKP) memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaannya di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Akibat kebijakan itu, sebanyak 300 karyawan menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebagian alat beratnya ditarik ke lokasi lain di Pulau Obi Provinsi Maluku Utara.

Manager Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso menyatakan pihaknya menghentikan sementara aktivitas tambang karena mesti melakukan konsolidasi dan evaluasi kembali terhadap investasi mereka. Bambang menyebut total karyawan yang bekerja dengan status kontrak di anak perusahaan Harita Group itu sebanyak 500 orang. Sebanyak 300 orang sudah di-PHK.

“Kita terhambat karena pembangunan jalan hauling oleh tiga pemilik lahan yang belum dibebaskan. Sementara, alat berat kita tarik,” kata Bambang.

“Sisanya menyusul. Kita efisiensi dulu dan kita sesuaikan dengan masa kontra mereka (pekerja),” jelasnya.

Ia mengatakan akibat penghentian aktivitas ini, perusahaannya merugi sebab selama 1,5 tahun menggaji karyawan tanpa produksi. Meski demikian, lanjut dia, penghentian ini sifatnya sementara saja. Perusahaan akan kembali beraktivitas jika komunikasi dengan pemerintah daerah sudah terbangun termasuk dengan tiga pemilik lahan yang enggan membebaskan tanahnya untuk jalan hauling perusahaan tambang nikel tersebut.

“Ini konsekuensi investasi dan kami berharap Pemda Konkep membantu memperhatikan situasi ini. Jadi, tidak semua alat berat ditarik. Hanya beberapa saja. Kita tidak berhenti, hanya setop sementara saja sambil lakukan pendekatan dengan pemda dan pemilik lahan,” imbuhnya.

Sejauh ini, kata dia, sudah 400 hektare lahan milik warga yang dibebaskan. Namun, aktivitas perusahaan terhalang tiga orang warga yang enggan melepas lahannya. “Agak keras sekali tiga orang ini. Tanahnya tidak mau dijadikan lahan tambang. Kita akan kaji kembali dan mencari jalur alternatif yang lebih aman agar perusahaan tidak berurusan dengan konflik dan perseteruan,” tuturnya.

 

Penulis : Egi

Beri Komentar

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.

Most popular

Most discussed